Selasa, 19 Oktober 2010

Amazing Grace

Kebanyakan orang yang menyanyikan pujian: “Anug'rah yang menakjubkan, betapa indah kedengarannya, yang menyelamatkan sampah (wretch: good for nothing, devil, never do well, villain, rascal, rouge, …. MW Dictionary) seperti saya,” tidak lagi memiliki perasaan yang sama seperti yang dirasakan John Newton pada saat itu. Dan jika pernah ada sampah yang pernah diselamatkan secara luar biasa oleh anugerah Tuhan, maka orang yang menulis kalimat ini, menuliskannya sebagai suatu pernyataan pribadi.
John Newton, lahir di London, anak seorang kapten kapal yang sangat dihormati, pada awalnya mendedikasikan diri kepada pelayanan Kristen, akibat ibunya yang sangat taat. Pelatihan keagamaannya bermula pada masa kecil dan ketika dia berusia 4 tahun, dia dapat dengan lancar menghafalkan bait-bait dari Katekismus Wesminster dan lagu-lagu pujian karangan Isaac Watts. Ketika berusia 11 tahun, dia berlayar ke Mediterania bersama ayahnya, tetapi pada usia 17 tahun, dia meninggalkan semua atribut keagamaannya dan beralih pada penyembahan kepada iblis. Hanya karena kekasihnya Mary Catlett, yang dicintainya sejak 1742, tapi akhirnya baru dinikahi tahun 1750, yang menyinarkan sedikit cahaya kemanusiaan dalam hatinya.

Dia meninggalkan kapalnya, dan dibawa kembali seperti seorang tawanan. Sangat besar hukuman yang harus ditanggungnya, hingga dia berencana untuk melakukan bunuh diri, hanya karena cintanya yang sangat besar kepada Mary, yang tetap membuatnya bertahan. Setelah menjalani masa hukumannya, dia memulai suatu karier yang begitu keji, hingga teman-temannya mulai meragukan akal sehatnya.

Tinggal bersama beberapa waktu di antara para pedagang budak di Sierra Leone, dia diperlakukan sangat buruk oleh istri majikannya, seorang Portugis berkulit hitam. Belakangan kemudian, dia berkata,”Jika Anda pernah melihat saya begitu dalam mimpi buruk, dan malam hari sendiri mencuci pakaian saya di bebatuan, setelah itu mengenakannya walau masih basah, agar dapat kering di punggung saya ketika saya tidur; jika Anda pernah melihat saya sebagai seseorang yang begitu miskin yang ketika sebuah kapal berlabuh di pulau, malu kadang mendatangi saya hingga saya ingin menyembunyikan muka saya dibalik pepohonan, menghindari tatapan mata orang-orang asing; jika Anda tahu bahwa tingkah laku saya, prinsip hidup saya, dan hati saya masih lebih hitam dari kondisi fisik saya – betapa sangat kecil kemungkinan Anda akan membayangkan bahwa seseorang seperti itu dijaga dengan begitu baik dengan providensi dan kebaikan yang luar biasa oleh Allah.”

Kemudian ditambahkan, ”Satu-satunya keinginan baik yang tersisa hanyalah kembali ke Inggris dan menikahi Mary.”
Setelah dipermalukan dan penderitaan yang berlanjut, dia berada di atas sebuah kapal yang menuju ke Inggris, menghabiskan beberapa hari yang sepi di laut membaca “Imitation of Christ (Thomas A. Kempis).” Ketika sebuah badai besar mengamuk, dia menganggap dirinya seperti Yunus yang menjadi penyebab dan kutukan atas kehidupannya yang sangat rusak, atas angin yang luar biasa dan gelombang setinggi gunung yang mengancam kapal tersebut untuk karam. Tiba-tiba sebuah badai besar menghantam jiwanya. Dengan kesadaran yang telah dibangkitkan dia menganggap hari tersebut, 10 Maret 1748, sebagai hari 'ulang tahun' rohaninya.

“Saya menangis memohon kepada Tuhan dengan tangisan seperti pekikan yang muak didengarkan, tetapi tidak ditolak oleh Allah,” dia berkata. “Dan saya mengingat Yesus yang begitu sering saya acuhkan.”
Tetapi perubahan yang terjadi saat itu, hanyalah sebuah reformasi dari seseorang yang belum percaya. Selama 6 tahun berikutnya dia melakukan beberapa perjalanan dengan kapal yang dimilikinya, dengan membawa beberapa barang, bahkan budak-budak di beberapa kesempatan. Hingga ketika dia tiba di Liverpool tahun 1754, barulah dia menjadi orang Kristen yang lahir baru. Tetapi belum juga dia menyadari diri untuk terjun ke dalam suatu pelayanan yang telah dipersiapkan ibunya sejak dahulu. Secara bertahap dia mulai memusatkan segalanya kepada Kristus, dengan harapan bahwa suatu saat dia akan tertebus untuk dipanggil melayani Kristus. Setalah dua kali secara ajaib terselamatkan dari kematian, dana beberapa tahun belajar dan latihan yang sulit, dia diangkat sebagai pejabat kerasulan di Church of England pada bulan 16 Desember 1758. Enam tahun kemudian dia pergi ke Olney, dimana dia diurapi menjadi seorang diaken dan pendeta. Kebersamaannya dengan William Cooper menghasilkan diterbitkannya buku mereka berjudul “Olney Hymns.” Nomor 41, pada buku I, mengandung kisah hidup Newton dalam versi:
Amazing grace, how sweet the sound,
That saved a wretch like me;
I once was lost but now am found,
Was blind but now I see.
‘Twas grace that taught my heart to fear,
And grace my fears relieved;
How precious did that grace appear,
The hour I first believe.
Through many dangers, toils and snares,
I have already come;
‘Tis grace hath brought me safe thus far,
And grace will lead me home.

Perjalanan hidupnya berakhir di tahun 1779, pergi untuk melayani dua gereja di London. Di sana dia mencurahkan semua tenaganya untuk melayani Tuhan dengan setia hingga hayatnya tiba, 21 Desember 1807, di usia 82. Di nisannya tertulis seperti berikut:
“John Newton, Pejabat, seseorang yang dahulunya penentang Kristen dan penganut kebebasan, yang, oleh anugerah yang kaya dari Tuhan dan Juruslamat kita, Yesus Kristus, dijaga, dibaharui, diampuni, dan diurapi untuk memberitakan iman yang dahulu sangat berusaha dihancurkan olehnya, hampir 16 tahun di Olney di Bucks, dan 28 tahun di gereja ini.”
Kemudian ditambahkannya,”Dan saya dengan sangat serius mengharapkan bahwa tidak ada monumen lain dan tulisan lain kecuali hal yang dituliskan ini, yang dibuat atas nama saya.”
Tuhan, buatlah aku sadar akan dosa-dosaku. Buatlah aku sadar juga dengan anugerah-Mu yang agung – anugerah-anugerah kehidupan setiap hari dan anugerah keselamatan yang ajaib dan indah

Words: John Newton, 1725 – 1807, Olney Hymns (London: W. Oliver, 1779). Exception: the last stanza is by an unknown author; it appeared as early as 1829 in Baptist Songster, by R. Winchell (Wethersfield, Connecticut), as the last stanza of the song “Jerusalem My Happy Home.” Music: “New Britain,” in Virginia Harmony, by James P. Carrell and David S. Clayton (Winchester, Virginia: 1831)
G G7 C G
Amazing grace! How sweet the sound
G D/D7
That saved a wretch like me!
G G7 C G
I once was lost, but now am found,
Em G D G
Was blind but now I see.
'Twas grace that taught my heart to fear,
And grace my fears relieved;
How precious did that grace appear
The hour I first believed!
Through many dangers, toils, and snares,
I have already come;
'Tis grace has brought me safe thus far,
And grace will lead me home.
The Lord had promised good to me,
His word my hope secures;
He will my shield and portion be
As long as life endures.
Yea, when this flesh and heart shall fail,
And mortal life shall cease,
I shall possess, within the veil,
A life of joy and peace.
The earth shall soon dissolve like snow,
The sun forbear to shine;
But God, Who called me here below,
Shall be forever mine.
When we’ve been there ten thousand years,
Bright shining as the sun,
We’ve no less days to sing God’s praise
Than when we’d first begun.

Rabu, 13 Oktober 2010

Kacamata Anda

Ya Tuhan :Bukalah kiranya matanya supaya ia melihat ... 
II Raja-raja 6:17


Baik atau buruk itu tergantung dari cara kita memandang. Masalah bisa menjadi buruk tapi bisa juga menjadi baik, itu juga tergantung dari cara kita memandang. Lihatlah hal yang baik dengan cara pandang yang buruk, maka hal itu akan terlihat sedemikian negatif. Sebaliknya, lihatlah hal yang buruk dengan cara pandang yang baik, secara mengejutkan kita akan melihat hal-hal yang positif.

Dean Black menceritakan dua kisah nyata mengenai hal ini dalam buku Frogship Perspective. Seorang pemain bola basket berbakat, ketika berusia 16 tahun kehilangan kedua kakinya dalam sebuah kecelakaan. Ini hal yang buruk bagi Curt Brinkman, pebasket muda tersebut yang akhirnya menjadi atlet kursi roda terkenal. Ia berkata, “Segera sesudah kecelakaan itu saya bangkit. Saya justru tidak tahu seperti apa kalau kaki saya masih ada.”

Seorang pria setengah baya melihat kembali dari kebutaan matanya semenjak lahir. Lalu seorang psikolog yang menanganinya berkomentar tentang mantan pria buta ini, “Waktu buta, dia hebat sekali. Tapi waktu dia sembuh, prestasinya merosot drastis, bahkan seperti orang bodoh.”

Bagi kita kehilangan kedua kaki adalah masalah besar, tapi bagi Curt Brinkman justru adalah kunci kesuksesan. Bagi kita mendapat kembali penglihatan adalah hadiah, tapi bagi pria separuh baya tersebut adalah masalah besar. Mengapa bisa demikian? Ini bukan soal masalahnya, tapi soal bagaimana kita melihat sebuah masalah.

Perlu saya tekankan sekali lagi, lihatlah hal yang baik dengan cara pandang yang buruk, maka hal itu akan terlihat sedemikian negatif. Sebaliknya, lihatlah hal yang buruk dengan cara pandang yang baik, maka kita akan melihat hal-hal yang positif.

Apakah hari ini kita sedang mengalami masalah? Bagaimana cara kita memandang masalah tersebut? Tuhan selalu mengajar agar kita melihat segala masalah dari sudut pandang yang positif. Ini seperti orang yang memakai kacamata. Memakai kacamata hitam akan membuat obyek yang paling terangpun akan terlihat gelap. Jadi jika hari ini hidup Anda terlihat begitu suram dan gelap untuk dijalani, jangan-jangan yang salah adalah kacamata Anda.

Lihatlah setiap masalah yang paling buruk sekalipun dengan kacamata positif.

Semua Butuh "Proses…."


Dalam satu tandan pisang, tak semua buahnya matang secara serentak. Ada diantaranya yang masih berwarna hijau tua. Maka, sang petani ada kalanya harus menyimpannya kembali beberapa saat menunggu hingga matang semuanya.

Pisang yang telah matang dan pisang yang terlambat matang, kelak akan memiliki rasa yang sama yakni memiliki rasa pisang. Meskipun waktu untuk menjadi matang pada pisang berbeda-beda…

Begitulah kita tak mungkin semuanya sama. Ada kalanya menurut ukuran kita, suatu masalah dapat diselesaikan hanya dengan beberapa
menit saja. Tapi bagi orang lain belum tentu, ia butuh waktu untuk menyelesaikannya. Bahkan belum sampai pada kesempurnaan. Namun pada akhirnya, hasil yang didapatkan tetap dapat dirasakan.

Dalam hidup ini tak seorang pun sempurna pada bingkai kemampuannya. Karena di antara kita memang tidak sama dan serupa, kita dilahirkan berbeda, hidup di lingkungan berbeda, pada kondisi yang berbeda dan segala hal yang berbeda. Yang mesti diingat adalah bahwa setiap orang memiliki kesamaan keinginan dan memiliki hak yang sama dalam mendapat kesempatan, betapapun itu harus dipergilirkan. Karenanya, percuma saja memperdebatkan suatu ketidaksamaan, perbedaan, dan ketidakcocokan dengan orang lain, karena kita tak akan mendapat titik temu.

Sungguh tak ada yang sempurna di antara kita, maka janganlah rendah diri…semua butuh proses menjadi lebih baik.

I Yohanes 2:5 Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia.

Filipi 3:12 Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah sempurna, melainkan aku mengejarnya, kalau-kalau aku dapat juga menangkapnya, karena aku pun telah ditangkap oleh Kristus Yesus.

Roma 12:2 Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

1000 Hari Sabtu


Makin tua, aku makin menikmati Sabtu pagi. Mungkin karena adanya keheningan sunyi senyap sebab aku yang pertama bangun pagi, atau mungkin juga karena tak terkira gembiraku sebab tak usah masuk kerja. Apapun alasannya, beberapa jam pertama Sabtu pagi amat menyenangkan.

Beberapa minggu yang lalu, aku agak memaksa diriku ke dapur dengan membawa secangkir kopi hangat di satu tangan dan koran pagi itu di tangan lainnya. Apa yang biasa saya lakukan di Sabtu pagi, berubah menjadi saat yang tak terlupakan dalam hidup ini. Begini kisahnya.
Aku keraskan suara radioku untuk mendengarkan suatu acara Bincang-bincang Sabtu Pagi. Aku dengar seseorang agak tua dengan suara e masnya. Ia sedang berbicara mengenai seribu kelereng kepada seseorang di telpon yang dipanggil "Tom". Aku tergelitik dan duduk ingin mendengarkan apa obrolannya.

"Dengar Tom, kedengarannya kau memang sibuk dengan pekerjamu. Aku yakin mereka menggajimu cukup banyak, tapi kan sangat sayang sekali kau harus meninggalkan rumah dan keluargamu terlalu sering. Sulit kupercaya kok ada anak muda yang harus bekerja 60 atau 70 jam seminggunya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk menonton pertunjukan tarian putrimu pun kau tak sempat".

Ia melanjutkan : "Biar kuceritakan ini, Tom, sesuatu yang membantuku mengatur dan menjaga prioritas apa yang yang harus kulakukan dalam hidupku".

Lalu mulailah ia menerangkan teori "seribu kelereng" nya. "Begini Tom, suatu hari aku duduk-duduk dan mulai menghiitung- hitung. Kan umumnya orang rata-rata hidup 75 tahun. Ya aku tahu, ada yang lebih dan ada yang kurang, tapi secara rata-rata umumnya kan sekitar 75 tahun. Lalu, aku kalikan 75 ini dengan 52 dan mendapatkan angka 3900 yang merupakan jumlah semua hari Sabtu yang rata-rata dimiliki seseorang selama hidupnya. Sekarang perhatikan benar-benar Tom, aku mau beranjak ke hal yang lebih penting".

"Tahu tidak, setelah aku berumur 55 tahun baru terpikir olehku semua detail ini", sambungnya, "dan pada saat itu aku kan sudah melewatkan 2800 hari Sabtu. Aku terbiasa memikirkan, andaikata aku bisa hidup sampai 75 tahun, maka buatku cuma tersisa sekitar 1000 hari Sabtu yang masih bisa kunikmati".

"Lalu aku pergi ketoko mainan dan membeli tiap butir kelereng yang ada. Aku butuh mengunjungi tiga toko, baru bisa mendapatkan 1000 kelereng itu. Kubawa pulang, kumasukkan dalam sebuah kotak plastik bening besar yang kuletakkan di tempat kerjaku, di samping radio. Setiap Sabtu sejak itu, aku selalu ambil sebutir kelereng dan membuangnya" .

"Aku alami, bahwa dengan mengawasi kelereng-kelereng itu menghilang, aku lebih memfokuskan diri pada hal-hal yang betul-betul penting dalam hidupku. Sungguh, tak ada yang lebih berharga daripada mengamati waktumu di dunia ini menghilang dan berkurang, untuk menolongmu membenahi dan meluruskan segala prioritas hidupmu".

"Sekarang aku ingin memberikan pesan terakhir sebelum kuputuskan teleponmu dan mengajak keluar istriku tersayang untuk sarapan pagi. Pagi ini, kelereng terakhirku telah kuambil, kukeluarkan dari kotaknya. Aku befikir, kalau aku sampai bertahan hingga Sabtu yang akan datang, maka Allah telah memberi aku dengan sedikit waktu tambahan ekstra untuk kuhabiskan dengan orang-orang yang kusayangi".

"Senang sekali bisa berbicara denganmu, Tom. Aku harap kau bisa melewatkan lebih banyak waktu dengan orang-orang yang kau kasihi, dan aku berharap suatu saat bisa berjumpa denganmu. Selamat pagi!"

Saat dia berhenti, begitu sunyi hening, jatuhnya satu jarumpun bisa terdengar! Untuk sejenak, bahkan moderator acara itupun membisu. Mungkin ia mau memberi para pendengarnya, kesempatan untuk memikirkan segalanya. Sebenarnya aku sudah merencanakan mau bekerja pagi itu, tetapi aku ganti acara, aku naik ke atas dan membangunkan istriku dengan sebuah kecupan.

"Ayo sayang, kuajak kau dan anak-anak ke luar, pergi sarapan"
kataku, "Lho, ada apa ini...?", tanyanya tersenyum. "Ah, tidak ada apa-apa, tidak ada yang spesial", jawabku, " Kan sudah cukup lama kita tidak melewatkan hari Sabtu dengan anak-anak ? Oh ya, nanti kita berhenti juga di toko mainan ya? Aku butuh beli kelereng."

*Pesan dari cerita ini : *
SPEND YOUR WEEKEND WISELY AND MAY ALL SATURDAYS BE SPECIAL AND MAY YOU HAVE MANY HAPPY YEARS AFTER YOU LOSE ALL YOUR MARBLES.

Maafkan Aku, Ayah ...

Aku terkulai di bangsal sebagai pesakit didera koma. “Aku, manusia paling tak berguna, dan paling hina di dunia.” Krisis arti diri dan hidup menyeretku dalam kekosongan.

Ingatanku diajak masuk masa-masa indah bersama saudara sepanggilan. Menenun dalam persaudaraan “Menjadi seorang imam”. Begitu kami berhasrat. Empat tahun pertama pendidikan seminari kujalani.
4 April 1998. Dia pergi. Tinggalkan luka kedukaan mendalam. Dia tak lagi menyaksikan kebanggaannya menapaki jalan-jalan suci. Tubuh kaku diatas peti, pemandangan ini yang kanyataan hiduapku.

Tak kan lagi terdegar, “Anakku, bagaimana kabarmu. Apa kesulitanmu dalam pendidikan, anakku. Semangat ya anakku, gapailah impianmu seturut rencana Dia yang memanggilmu!”

Dalam ketidakmampuan menolak rencana Tuhan, aku coba iklas melepasnya. Balutan imanku menguatkan, “ini bukan akhir”. Ia telah bersama-Nya. Keyakinan ini menegarkanku—tak menangisinya. “Kurelakan dia menjumpai Allah yang mencintainya. Aku tak mau membuatnya bersedih.”

“Apakah pengalaman ini, bagian rencana-Nya dalam jalan panggilanku?”

Satu, dua, tiga, empat, lima, enam tahun berlalu. Pendidikan kebiaraan pun telah kuselesaikan. Gelar sarjana sastra telah kuraih.

“Tahun ini adalah masa pastoralku. Aku mau belajar bagaimana sih menjadi gembala.”

“Fr. Clemens,” begitu aku dipanggil.

Tahun keenam perjananku sebagai frater diputuskan. Tidak sedikitpun terlintas dalam benak ini aku tidak diterima. Namun, “RencanaKu bukanlah rencanamu, jalan-Ku bukanlah jalanmu.” Inilah kenyataannya. Nafasku terhenti. Tubuh ini kaku. Tak yakin akan hal itu. “Anda tidak diterima”. Bersama itu pula manisnya masa pastoral, kini harus terkubur, terkubur sebelum tumbuh dalam sejarah panggilanku.

“Apakah maksud pengalaman ini?”

Terdiam, kesendirian dan keheningan dalam kamar. Di sudut kamar meratapi jalan-jalan indah. Pengalaman hari ini. Semua jadi satu. Tak kusadari berapa lama aku menundukkan kepala seperti pejuang kalah berperang..

Gerimis turun ikut berkabung dalam kekecewaan dan kesedihanku. Tak kuasa melawan pahit kenyatan ini. Kupandangi foto-foto kisah pendakianku.

Wajah-wajah pendukung panggilanku melintas menyergap. Satu wajah pun menguat dipandanganku. Airmata tangisanlah sebagai jawabannya. Tak tahu kapan tangan ini menggapai jurnal harianku—tepat membuka 04 April 1998.

Tangisku semakin menjadi. Kicauan kakak tua di depan kamar pun seakan berubah menjadi tangisan kesedihannya padaku.

“Maafkan aku ayah, perjalanan ini harus terhenti. Maafkan aku, ayah.” Inilah yang mewakili seluruh kekecewaanku.

Di pojok kamar, di ruang doa pribadiku. Dengklik terbalut ulos merah keemasan dan sebatang lilin menemani lukisan kecil Yesus mengetuk pintu. Berteman cahaya lilin unggu, ku berpasrah. Kuyakinkan diri ini bersandar pada rencana-Nya selanjutnya.

Dua hari berjelang “aku harus pulang ke tanah kelahiranku. Aku tidak mau menambah sakit ketidaksiapanku menerima pengalaman ini. Ya, menyakitkan tatkala menyaksikan diri ini kini tak termasuk lagi bagian dari bilangan mereka.”

Kutinggalkan selaksa pengalaman perjuanganku di biara. Persaudaraan dan sejuta pengalaman yang tak terlupakan. Kukuatkan langkahku meninggalkan semua itu. “Selamat tinggal dan berjuanglah saudara-saudaraku. Terimakasih atas semua apa yang pernah kita rajut bersama. Kita saling mendoakan dimana pun kita berada dalam perjuangan kita masing-masing.”

Kisah-kisah itu tidak jua berakhir. Stigma yang mempurukkan diri pun masih harus kuterima dari umat. Tanpa mau tahu alasan. “Mereka kira aku ini keluar karena kasus perempuan, hanya curi-curi ilmu setelah sarjana didapat, lalu keluar”. Dan masih banyak lagi vonis-vonis yang mematikan. Rasa malupun hinggap dalam diriku ini. Siksa bukan hanya tertuju padaku seorang. Ibu tercinta dan keluargapun turut menerimanya.

“Sungguh kejamnya”, tangisku.

Tak sanggup kuterima ini. Kukuatkan niatku. Setelah makan bersama sekeluarga keputusanku yang berat ini harus kusampaikan.

“Ibuku yang kusayangi, abang dan adik-adiku. aku berencana besok merantau ke kota Jakarta. Cukuplah masa penenangan ini. Aku mau membangun masa depanku yang baru di tempat baru.”

Kupandangi wajah-wajah di hadapanku sepertinya tak percaya pada keputusanku. Di tengah kesunyian itu mereka tak berdaya mencegahnya.

Sehari, seminggu, sebulan, setahun berlalu. Kugapai masa depanku bersama impian yang kuikat satu dalam diri ini. Kesuksesan demi kesuksesan pun mulai jelas di hadapanku. Namun satu yang tak dapat terlepas dariku. “Aku adalah seorang mantan frater”.

Pengalaman itupun muncul bersamaan dengan lingkungan gereja tempatku berdomisili. Gambaran negatif yang tak mau menerima mantan frater pun menambah luka diri ini.

Deburan ombak pantai menghadirkan semuanya secara jelas di pelupuk mata. Pasir putih yang terhampar seluas pantai tak lagi menggugah. Desiran angin dan gelak tawa gembira pengunjung pantai pun tak dapat mengubah pasang surut emosi kekecewaan dalam hatiku.

Berganti hari, berganti minggu dan bulan. Kini sudah bulan kedua pergumulan ini kugeluti sendiri. Tak ada teman tempat berbagi. Kesendirian dan seribu satu emosi membuatku seperti mayat hidup. Bergerak dan melakukan sesuatu sesuai tanpa daya. Semakin larut semakin membuatku tersiksa.

Entah sudah berapa lama mata ini terkatup, terbuka sesaat. Terdengar tangisan. Kucoba cari asal tangisan menyayat hatiku.

“Ibu, jangan menangis,” pintaku. Airmata menetesi pipi anggun itu. Tangisan ibu tak kuasa merasakan derita anak kandungnya. Di tangannya seuntai rosario—“dia sedang mendaraskan doa”. Pandangan kami beradu. Mata indah nya seakan berbicara “anakku, biarlah deritamu ini ibu yang menggantikannya.” pipi ini.

“Anakku, janganlah kau menangis.” Tangannya menghapus airmataku.

Sosok-sosok di sampingnya adalah pribadi-pribadi yang memahamiku. Abang, yang sangat menyayangiku, adik-adiku yang selalu menguatkan dan menyemangatiku. Rasa sedih Tak bisa disembunyikan dari wajah mereka..

Saat itu 4 April 2006. “Ayah mana? Aku mau bertemu dengannya. Aku mau meminta maaf padanya. Maaf yang harus kuutarakan. ‘Maafkan aku ayah,. Aku telah gagal berjuang menjawab panggilan menjadi seorang pastor. Maafkan aku, ayah....’” mulut ini berkata, begitu saja.

Tangis mereka semakin memecah. Sesekali ku mendengar “sudah, sudah jangan kau ingat-ingat lagi. Kita sudah tidak mengingatnya. Kamu tetap anakku. Kau adalah kebanggan kami.” Dalam dekapan ibu tercinta, aku sempat melihat mereka semuanya satu per satu, “maafkan aku, selamat tinggal. Doakan aku”.

Surat Untuk Mama


Sally bergegas menemui dokter bedah yang baru saja keluar dari kamar operasi.

Dia bertanya "Bagaimana keadaan anak laki-laki saya? Apakah dia baik-baik saja? Kapan saya dapat melihatnya?"

Dokter bedah itu berkata, "Maafkan kami, kami telah melakukan segala yang bisa kami lakukan".

Sally berkata, "Mengapa anak laki-laki saya mendapatkan kanker, apakah Tuhan sudah tidak sayang? Tuhan, dimana Engkau ketika anakku membutuhkanMu?"

Dokter itu berkata, "Salah satu dari perawat akan keluar dari kamar operasi beberapa saat lagi dan anda dapat mendampingi jenazah anak anda sebelum dipindahkan ke universitas".

Sally memohon supaya perawat itu menemaninya ketika dia mengucapkan selamat tinggal kepada anaknya.

Sally menyentuh rambut pirang anaknya.

Perawat itu berkata, "Apakah kamu menginginkan segenggam rambutnya?"

Sally mengangguk. Perawat itu memotong segenggam rambut anak itu, memasukkannya ke dalam kantong plastik dan memberikannya ke Sally.

Sally berkata, "Ini adalah ide Jimmy untuk memberikan tubuhnya ke Universitas untuk penelitian. Dia berkata ini akan dapat membantu orang lain, dan itu yang diinginkannya. Pada awalnya saya tidak setuju, tapi Jimmy berkata, 'Mama, saya tidak akan menggunakannya setelah saya meninggal, mungkin ini dapat membantu anak-anak yang lain untuk dapat menghabiskan lebih banyak waktu bersama mamanya'".

Sally berkata, "Jimmyku mempunyai hati emas, selalu memikirkan orang lain dan selalu ingin membantu orang lain sebisanya".

Sally berjalan keluar dari rumah sakit anak-anak itu untuk untuk yang terakhir kalinya setelah dia menghabiskan waktu selama 6 bulan disana. Dia meletakkan tas yang berisi barang-barang milik Jimmy ke sebelah tempat duduknya di dalam mobil. Perjalanan pulang saat itu sangatlah berat dan bahkan lebih berat lagi untuk memasuki rumah yang kosong.

Dia membawa tas tersebut ke kamar Jimmy dan mulai meletakkan mobil-mobilan dan barang-barang yang lain kembali ke tempat dimana Jimmy selalu menyimpannya. Dia merebahkan tubuhnya di ranjang anaknya dan menangis sampai dia tertidur sambil memeluk bantal anaknya.

Sally terbangun sekitar tengah malam dan dia atas ranjang, di tempat dia tertidur, dia menemukan surat yang terlipat. Dia membukanya, dan surat itu berisi:

Untuk Mama, Saya tahu kalau kamu akan merindukanku, tapi jangan berpikir kalau aku akan pernah melupakanmu atau berhenti menyayangimu karena aku tidak berada disekitarmu untuk mengatakan bahwa aku menyayangimu. Aku akan memikirkanmu setiap hari dan aku akan menyayangimu bahkan lebih tiap harinya. Suatu hari kita akan bertemu kembali. Jika kamu mau mengadopsi anak, kamu tidak akan kesepian, dia boleh menggunakan kamar saya dan semua permainan yang saya miliki. Kalau mama mau mengadopsi anak perempuan, mungkin dia tidak akan melakukan hal yang sama seperti anak laki-laki, jadi kamu harus membelikannya boneka dan permainan yang lainnya. Jangan sedih ketika kau memikirkan aku, tempat ini benar-benar menyenangkan. Nenek dan Kakek menemuiku segera setelah aku sampai disini dan membawaku berkeliling, tapi akan butuh waktu yang lama untuk melihat semuanya yang ada disini. Malaikat-malaikat disini sangat ramah, Saya suka melihat mereka terbang. Yesus tidak seperti gambar yang pernah aku lihat tentang Yesus, tetapi saya tahu bahwa itu Dia setelah saya melihatNya. Yesus membawaku untuk menemui Tuhan. Dan kau tahu Mama? Saya duduk dipangkuan Tuhan dan berbincang dengannya layaknya aku ini seorang yang sangat penting. Saya beritahu Tuhan bahwa saya ingin menulis surat untukmu untuk mengucapkan selamat tinggal dan menceritakan semuanya, tapi saya tahu bahwa itu tidak memungkinkan. Tuhan memberi aku sebuah kertas dan juga pena pribadiNya yang aku pakai untuk menulis surat ini. Saya pikir nama malaikat yang akan mengirimkan surat ini kepadamu adalah Gabriel. Tuhan meminta aku untuk memberimu jawaban atas satu pertanyaan yang kau tanyakan padaNya. Dimana Dia ketika aku membutuhkanNya? Tuhan berkata, "Di tempat yang sama ketika Yesus berada di salib". Dia berada disana, seperti Dia selalu bersama semua anak-anakNya. O ya Mama, tidak ada orang lain yang bisa melihat apa yang tertulis di kertas ini kecuali kamu. Untuk orang lain, ini akan terlihat seperti selembar kertas kosong. Saya harus mengembalikan pena ini kembali kepada Tuhan sekarang, Dia harus menuliskan beberapa nama lagi dalam Buku Kehidupan. Malam ini, saya akan duduk bersama Yesus untuk menikmati makan malam. Saya yakin makanannya akan enak. Saya hampir lupa memberitahukanmu. Sekarang, saya tidak sakit lagi, kankernya telah hilang. Saya bahagia karena saya sudah tidak tahan lagi dengan rasa sakit itu dan Tuhan juga tidak tahan lagi melihat saya menderita kesakitan, jadi Dia mengirimkan Malaikat Pengampun untuk menjemputku. Malaikat itu mengatakan bahwa aku adalah kiriman yang special.

Dengan kasih sayang, Tuhan & Yesus & Aku.

Berserah..

Seorang anak kecil sedang bermain sendirian dengan mainannya. Sedang asyik-asyiknya bermain tiba-tiba mainannya itu rusak. Dia mencoba untuk mebetulkannya sendiri, tapi rupanya usahanya itu dari tadi sia sia saja. Maka dia mendatangi ayahnya untuk minta ayahnya itu yang membetulkannya.
Tapi sambil memperhatikan ayahnya dia terus memberikan instruksi kepada ayahnya, “Ayah, coba lihat bagian sebelah kiri, mungkin di situ kerusakannya.” Ayahnya menurutinya, tapi ternyata belum betul juga mainannya.
Maka dia memberi komentar lagi,” Oh, bukan di situ Yah, mungkin yang sebelah kanan, coba lihat lagi deh Yah.” Kali ini ayahnya juga menurutinya, tapi lagi-lagi mainannya itu belum betul.
“Kalau begitu coba yang di bagian depan Yah, kali aja masalahnya ada di situ.” Kali ini ayahnya marah,” Sudah, kalau kamu memang bisa, mengapa tidak kamu kerjakan sendiri saja? Jangan ganggu Ayah lagi. Ayah banyak kerjaan lain.”
Tapi setelah dia mencoba beberapa saat untuk membetulkan sendiri dan masih belum berhasil, maka akhirnya dia kembali kepada ayahnya sambil merengek. “Tolonglah Yah, aku suka sekali mainan ini, kalau rusak begini bagaimana? Tolong Ayah betulkan supaya bisa jalan lagi ya”
Karena tidak tega mendengar rengekan anaknya, si ayah akhirnya menyerah,” Baiklah Nak. Ayah akan membetulkan mainanmu asal kamu berjanji tidak boleh memberitahu Ayah apa yang harus dilakukan. Kamu duduk saja dan perhatikan Ayah bekerja. Tidak boleh mencela.”
Ketika ayahnya sedang memperbaiki mainannya, si anak mulai berkomentar lagi,” Jangan yang itu Yah, kayaknya bagian lain yang rusak.”
Tapi kali ini ayahnya berkata, ” Kalau kamu berkomentar lagi, mainan ini akan ayah lepaskan dan silahkan kamu berusaha sendiri.” Akhirnya karena takut ayahnya akan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya, anak itu diam dan duduk manis melihat ayahnya membetulkan mainannya sampai bisa berjalan lagi tanpa mengeluarkan komentar apa pun.
Seperti anak kecil itu, kita pun sering kali berserah kepada Tuhan tapi masih ingin mengatur Tuhan bagaimana sebaiknya jalan hidup kita. Bila kita sungguh-sungguh pasrah kepada kehendak Tuhan, maka niscaya Tuhan yang adalah Maha Tahu dan sangat mencintai kita akan melakukan yang terbaik, lebih dari apa yang bisa kita pikirkan dan doakan, sesuai dengan kehendak-Nya.

"AKU TETAP MENCINTAIMU, PAPA"

Ada seorang ibu yang rajin mengikuti persekutuan, membaca Firman Allah, terlibat pelayanan dan berbudi luhur. Tapi sayang suaminya bukan tipe suami idaman setiap wanita, seorang yang suka berselingkuh dan mencari kesenangan duniawi. Setiap kali suaminya pulang malam dan mabuk-mabukan, ibu ini selalu membukakan pintu dan melayaninya dengan sabar. Suaminya berpikir ia adalah seorang wanita bodoh yang tidak tahu kalau sedang dibohongi dengan alasan rapat atau keperluan kantor. Ibu ini sebenarnya bukan tidak tahu kalau sedang ditipu oleh suaminya. Hal ini tidak lalu membuatnya ngambek kepada Tuhan dan tidak mau mengikuti Tuhan lagi. Tapi ia selalu bersimpuh di kaki Tuhan sambil menangis dan menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Ia juga selalu mendoakan suaminya itu, berharap suatu hari nanti Tuhan akan mengubahnya menjadi orang yang baik, takut akan Tuhan dan tentu saja menjadi suami yang baik lagi.
Tapi bukannya berubah perilakunya, bahkan sang suami makin buruk kelakuannya, hingga mulai sering melayangkan tinjunya kepada istri yang malang itu. Namun ibu ini tetap setia melayani semua kebutuhan suaminya itu. Hingga suatu hari sang suami yang terlibat perselingkuhan dengan sekretarisnya di kantor memberi tahu bahwa ia akan menginap di Puncak karena ada rapat kantor. Padahal istrinya sudah tahu bahwa rapat itu hanyalah alasannya untuk bersenang-senang dengan sekretaris itu. Ketika berpamitan dengan istrinya, sang suami masih beranggapan bahwa istrinya itu wanita bodoh yang mudah dibohongi. Karena istrinya melepas kepergiannya seperti biasa, bahkan mereka sempat berdoa demi keselamatannya sebelum ia pergi. Maka si suami pergi sambil tersenyum membayangkan kesenangan yang akan ia dapat dari sekretarisnya itu dan kebodohan istrinya.
Sementara itu setelah melepas kepergian suaminya, ibu itu lalu kembali bersujud menangis di bawah kaki Tuhan sambil menumpahkan segala beban yang dirasakannya begitu berat untuk ditanggung. Sungguh sakit hatinya menerima semua perlakuan suaminya itu, tapi kemudian ia teringat firman Tuhan untuk mengampuni kesalahan orang lain, bahkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Maka ia pun berusaha untuk menjadi murid yang setia dengan mengikuti dan firman teladan Tuhan.
Tak disangka, beberapa jam kemudian ia menerima kabar dari polisi bahwa telah terjadi kecelakaan. Mobil suaminya terperosok masuk jurang di daerah Puncak dan ada seorang penumpang yang terluka parah dan penumpang lainnya tidak dapat diselamatkan. Ketika ia kemudian buru-buru pergi ke tempat di mana suaminya berada. Ia mengetahui bahwa penumpang yang meninggal dalam kecelakaan itu tak lain adalah sekretaris suaminya, sedangkan suaminya masih belum sadar dan menderita luka berat. Dokter mengatakan bahwa meski suaminya dapat diselamatkan, kemungkinan besar, suaminya itu akan menderita kelumpuhan dan tidak dapat berjalan lagi.
Pada saat suaminya sadar, yang pertama dilihatnya adalah wajah istri yang telah dibohonginya itu. Ia hanya dapat berkata, “Ampuni aku, Mama.” Sedangkan istrinya yang telah sering ia jahati itu berkata,” Apa pun yang terjadi, aku tetap mencintaimu dan telah memaafkanmu, Papa”. Ketika akhirnya suaminya memang dapat diselamatkan tapi harus duduk di kursi roda, ibu itu tetap setia mengurusi suaminya. Karena ia bukan hanya menjadi pembaca tapi telah menjadi pelaku Firman..
Beberapa bulan kemudian salah seorang teman pelayanan istrinya memberitahukan sebuah tempat pengobatan alternatif untuk mennyembuhkannya. Dan setelah ia mendatangi tempat itu setelah menjalani pengobatan selama beberapa bulan akhirnya ia pun perlahan-lahan pulih dan dapat berjalan kembali. Setelah kejadian itu, suami ibu itu telah menjadi suami yang setia dan takut akan Tuhan. Kecelakaan itu telah dipakai Tuhan untuk mengubah dan mengembalikan suaminya kepadanya karena ia telah mengampuni dan menjadi pengikut Tuhan yang setia.

Keranjang Arang dan Kitab Suci

Seorang Kakek hidup di suatu perkebunan di suatu pegunungan sebelah timur Negara bagian Kentucky (Amerika) dengan cucu lelakinya yg masih muda. Setiap pagi Kakek bangun lebih awal dan membaca Alkitab di meja makan di dapurnya. Cucu lelaki nya ingin sekali menjadi seperti kakeknya dan mencoba untuk menirunya dalam cara apapun semampunya.
Suatu hari sang cucu nya bertanya, ” Kakek! Aku mencoba untuk membaca Alkitab seperti yang kakek lakukan tetapi aku tidak memahaminya, dan apa yang aku pahami aku lupakan secepat aku menutup buku. Apa sih kebaikan dari membaca Alkitab?” Dengan tenang sang Kakek dengan mengambil keranjang tempat arang, memutar sambil melobangi keranjang nya ia menjawab, ” Bawa keranjang ini ke sungai dan bawa kemari lagi penuhi dengan air.”
Maka sang cucu melakukan seperti yang diperintahkan kakek, tetapi semua air habis menetes sebelum tiba di depan rumahnya. Kakek tertawa dan berkata, “Lain kali kamu harus melakukukannya lebih cepat lagi,” Maka ia menyuruh cucunya kembali ke sungai dengan keranjang tsb untuk dicoba lagi. Sang cucu berlari lebih cepat, tetapi tetap, lagi2 keranjangnya
kosong sebelum ia tiba di depan rumah. Dengan terengah-engah, ia berkata kepada kakek nya bahwa mustahil membawa air dari sungai dengan keranjang yang sudah dibolongi, maka sang cucu mengambil ember sebagai gantinya. Sang kakek berkata, ” Aku tidak mau ember itu; aku hanya mau keranjang arang itu. Ayolah, usaha kamu kurang cukup,” maka sang kakek pergi ke luar pintu untuk mengamati usaha cucu laki-lakinya itu.
Cucunya yakin sekali bahwa hal itu mustahil, tetapi ia tetap ingin menunjukkan kepada kakek nya, biar sekalipun ia berlari secepat-cepatnya, air tetap akan bocor keluar sebelum ia sampai ke rumah. Sekali lagi sang cucu mengambil air ke dalam sungai dan berlari sekuat tenaga menghampiri kakek, tetapi ketika ia sampai didepan kakek keranjang sudah kosong lagi.
Sambil terengah-engah ia berkata, ” Lihat Kek, percuma!” ” Jadi kamu pikir percuma?” Jawab kakek. Kakek berkata, ” Lihatlah keranjangnya. “Sang cucu menurut, melihat ke dalam keranjangnya dan untuk pertama kalinya menyadari bahwa keranjang itu sekarang berbeda. Keranjang itu TELAH BERUBAH dari keranjang arang yang tua kotor dan kini BERSIH LUAR DAN DALAM. “Cucuku, hal itulah yang terjadi ketika kamu MEMBACA ALKITAB. Kamu TIDAK BISA MEMAHAMI atau INGAT segalanya, tetapi KETIKA kamu MEMBACANYA LAGI, kamu AKAN BERUBAH, luar dalam. Itu adalah KARUNIA dari ALLAH di dalam hidup kita.”
Sesungguhnya, hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang.
Sepenggal kata mutiara:
“Teman yang baik adalah seseorang yang dapat berkata BENAR kepada kita, dan bukan orang yang selalu MEMBENAR-BENARKAN perkataan kita, tanpa memberi NASIHAT dan KOREKSI”